Oleh
Rizmy Otlani Novastria, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Keluar dari zona nyaman serta melakukan gebrakan-gebrakan baru untuk
menuju sistem administrasi perpajakan Indonesia yang dapat diandalkan
seolah menjadi program tiada henti Direktorat Jenderal Pajak (DJP)
dewasa ini. Berbagai upaya masif telah dilaksanakan DJP untuk
memperbaiki sistem administrasi PPN yang diharapkan mampu mewujudkan
pilot project e-Tax Invoice pada tahun 2014. Seolah tak ingin
setengah-setengah dalam beraksi, DJP ternyata tidak hanya memfokuskan
diri pada bidang PPN saja, namun juga mulai mengambil langkah pada jenis
pajak penghasilan, yakni dengan melakukan pengembangan e-SPT PPh dan
e-Bukti Potong pada tahun 2017 untuk memperbaiki sistem administrasi PPh
dan meminimalisasi kredit pajak yang tidak sah. Oleh karena itu, DJP
mencanangkan PER-14/PJ/2013 tentang Bentuk, Isi, Tata Cara Pengisian dan
Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21
dan/atau Pasal 26 serta Bentuk Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal
21 dan/atau Pasal 26 yang mulai berlaku per 1 Januari 2014.
PER-14/PJ/2013 merupakan perubahan PER-32/PJ/2009 yang membahas
mengenai perubahan SPT Masa PPh Pasal 21/Pasal 26 serta bentuk bukti
pemotongan PPh Pasal 21 dan/ atau pasal 26. Perdirjen ini diluncurkan
sebagai langkah awal pengembangan SPT yang direncanakan akan berlangsung
mulai tahun 2014 hingga tahun 2017. Pada tahun 2014 ini, Wajib Pajak
yang memenuhi ketentuan diwajibkan untuk melaporkan SPT Masa PPh Pasal
21/26 dalam bentuk e-SPT.
Ketentuan tersebut berlaku untuk pemotong yang melakukan pemotongan
terhadap pegawai tetap dan penerima pensiun atau tunjangan hari
tua/jaminan hari tua berkala dan/atau terhadap pegawai negeri sipil,
anggota Tentara Nasional Indonesia/Polisi Republik Indonesia, pejabat
negara dan pensiunannya yang jumlahnya lebih dari 20 orang dalam satu
masa pajak, dan/atau melakukan pemotongan PPh Pasal 21 Tidak Final
dan/atau pasal 26 dengan bukti potong yang jumlahnya lebih dari 20
dokumen dalam satu masa pajak, melakukan pemotongan PPh Pasal 21 (final)
dengan bukti pemotongan yang jumlahnya lebih dari 20 dalam satu masa
pajak, dan/atau melakukan penyetoran pajak dengan SSP dan/atau bukti
Pbk. yang jumlahnya lebih dari 20 dokumen dalam satu masa pajak.
Dalam hal Wajib Pajak telah melaporkan SPT menggunakan e-SPT, WP
wajib menggunakan aplikasi e-SPT yang disediakan oleh DJP dan harus
menggunakan e-SPT tersebut untuk masa-masa selanjutnya. Artinya WP tidak
boleh kembali menggunakan SPT manual/hardcopy. Jika WP yang telah
memenuhi ketentuan di atas tidak menyampaikan SPT dalam bentuk e-SPT,
maka WP dianggap tidak menyampaikan SPT dan akan dikenakan sanksi sesuai
ketentuan yang berlaku dalam pasal 7 UU KUP, yaitu denda seratus ribu
rupiah untuk setiap masa.
Pilot project tersebut direncanakan akan dilanjutkan dengan
launching e-SPT Masa PPh lainnya antara lain e-SPT Masa Pasal 22, 23,
dan 4 ayat (2) pada tahun 2014. Direncanakan pada tahun 2017 DJP akan
melaksanakan
launching e-Bukti Potong dan e-SPT Tahunan PPh Badan yang diawali dengan
piloting di KPP Pratama terlebih dahulu pada tahun 2016.
Latar belakang diluncurkannya PER-14/PJ/2013 ini lebih dikarenakan
kesulitan dalam pengawasan pelaporan PPh 21 per bulan (Januari s.d.
November). Data selama ini disampaikan secara gelondongan oleh
perusahaan sehingga tidak ada rincian untuk setiap masa pajak. Dengan
demikian PER-14/PJ/2013 ini mewajibkan perincian daftar pemotongan PPh
Pasal 21 untuk setiap masa pajak. Selain itu, DJP seringkali mengalami
kesulitan dalam
matching data bukti potong sebab penomoran
bukti potong tidak terstruktur. Solusi yang disediakan adalah dengan
melakukan standarisasi penomoran bukti potong.
Isu lainnya yang sempat muncul ialah lambatnya penyediaan data SPT di
database dikarenakan proses perekaman SPT yang relatif lambat dan
cakupan penggunaan e-SPT masih sedikit. Hal tersebut mengakibatkan
ketertiban pengarsipan file dalam sistem dan pengawasan SPT masa PPh
pasal 21 menjadi tidak maksimal. Dengan demikian PER-14 menawarkan
solusi dengan memperluas cakupan pengguna e-SPT PPh Pasal 21 sebagaimana
diwajibkan untuk pemotong dengan persyaratan yang telah disebutkan di
atas.
Latar belakang pembentukan Perdirjen ini selanjutnya adalah pada
regulasi lama, e-SPT tidak mengakomodir pertukaran data dengan negara
lain terutama yang berkaitan dengan PPh Pasal 26. Melalui
PER-14/PJ/2013, hal tersebut diakomodir dengan membuat regulasi mengenai
peluang terjadinya pertukaran data dengan negara lain terutama dalam
kaitannya dengan PPh Pasal 26. Hal urgent berikutnya yang diatur dalam
PER-14/PJ/2013 adalah ketentuan untuk mencantumkan ‘key’ yang dapat
menjadi penghubung antara data SPT antara data SPT dan bukti potong
dengan data pihak ketiga, misal: NIK (Nomor Induk KTP). Pencantuman NIK
ini didasarkan atas pertimbangan bahwa segala dokumen kependudukan untuk
kedepannya akan dikaitkan dengan nomor Kartu Tanda Penduduk sebagai
upaya mewujudkan Single Identity Number (SIN).
Hal terakhir yang melatarbelakangi diluncurkannya PER-14 ini adalah
bahwa formulir SPT Masa PPh 21 sebagaimana dimaksud dalam PER-32/PJ/2009
belum selaras dengan PMK-262/PMK.03/2010 dan PMK-16/PMK.03/2010 sebab
kedua PMK tersebut diterbitkan setelah PER-32/PJ/2009 muncul. Oleh
karena itu dalam PER-14 dilakukan penyesuaian formulir dengan
menambahkan informasi ‘PPh atas penghasilan teratur yang terpisah
dengan gaji’ dalam bukti potong.
Mengenai perubahan-perubahan dalam PER-14/PJ/2013 sendiri pada
dasarnya ada tujuh pokok perubahan penting. Pertama adalah perluasan
kategori pengguna e-SPT PPh Pasal 21/26 sebagaimana yang disebutkan
sebelumnya. Kedua mengenai penambahan lampiran daftar pemotongan PPh
Pasal 21/26 yang harus dilaporkan setiap bulan dalam formulir 1721-I.
Pada masa pajak Desember, lampiran 1721-I ini harus disampaikan dalam
dua lembar, yaitu yang pertama untuk daftar pemotongan PPh Pasal 21
pegawai tetap selama satu tahun termasuk pegawai yang keluar, dan kedua
adalah daftar pemotongan PPh Pasal 21 selama masa Desember itu sendiri.
Lampiran 1721-I ini memiliki dua bagian yaitu bagian A untuk pemotongan
terhadap pegawai tetap yang memiliki penghasilan di atas PTKP dan yang
kedua adalah bagian B merupakan jumlah penghasilan pegawai tetap yang
memiliki penghasilan di bawah PTKP dan jumlah tersebut tidak perlu
dirincikan sebab penyajiannya adalah dengan jumlah yang digunggung.
Sebagaimana dibahas sebelumnya, bahwa selama ini DJP mengalami
kesulitan dalam matching data bukti potong sebab penomoran yang tidak
terstandarisasi. Oleh karena itu dalam PER-14/PJ/2013 ini diatur
mengenai standarisasi penomoran bukti potong yaitu dengan ketentuan
sebagai berikut:
- 1.3-mm.yy-xxxxxxx untuk bukti pemotongan PPh Pasal 21/26 tidak final;
- 1.4-mm.yy-xxxxxxx untuk bukti pemotongan PPh Pasal 21 final;
- 1.1-mm.yy-xxxxxxx untuk bukti pemotongan PPh Pasal 21 bagi pegawai tetap dan penerima pensiun atau THT/JHT;
- 1.2-mm.yy-xxxxxxx untuk bukti pemotongan PPh Pasal 21 bagi PNS, anggota TNI/POLRI, pejabat negara dan pensiunannya.
Penyesuaian desain SPT agar lebih
scan-friendly menjadi
fokus keempat atas latar belakang dibentuknya PER-14/PJ/2013. Hal yang
diakomodir tentang desain SPT berkaitan dengan penyediaan space untuk
penempelan barcode SPT pada induk SPT, penyediaan area penulisan hasil
penghitungan jumlah lembar SPT, dan area penstaplesan induk dan lampiran
SPT, serta penambahan identitas di setiap halaman formulir.
Perubahan selanjutnya adalah penambahan beberapa informasi dalam
bukti potong seperti negara domisili, NIK/ No. Paspor, dan Kode Obyek
Pajak. Selain itu, lampiran 1721-II dan 1721-T sesuai PER-32/PJ/2009
juga dihapus karena telah dicantumkan dalam lampiran 1721-I menurut
PER-14/PJ/2013. Perubahan terakhir dalam PER-14/PJ/2013 tersebut adalah
penyesuaian informasi pada SPT PPh Pasal 21 induk bagian C tentang objek
pajak final. Penyesuaian tersebut adalah dibedakannya baris antara
penerima penghasilan uang pesangon yang dibayarkan sekaligus dengan
penerima uang manfaat pensiun, THT atau JHT dan pembayaran sejenis yang
dibayarkan sekaligus sebab kedua jenis penghasilan tersebut memiliki
lapisan tarif yang berbeda.
E-SPT masa PPh Pasal 21 merupakan program baru dimana Wajib Pajak
masih kurang familiar terhadap hal tersebut. Oleh karena itu, penggunaan
e-SPT oleh Wajib Pajak seringkali mengalami kendala, misalnya error
dalam hal penginstallan serta impor file csv. WP seringkali tidak tahu
dimana telah terjadi kesalahan karena tidak ada petunjuk penggunaan
e-SPT. Oleh karena itu dalam hal ini assistance oleh AR maupun fiskus
sangat dibutuhkan. Akan lebih baik bila launching e-SPT ini juga
disertai manual e-SPT. Menurut keterangan dari pihak DJP, impor file
hanya bisa dilakukan atas file csv karena selama ini jenis file tersebut
yang dirasa paling aman dan ringan untuk masuk dalam sistem.
Mengenai standarisasi nomor bukti potong, format tujuh digit angka
terakhir tidak diakomodir dalam e-SPT. Perusahaan yang memiliki banyak
cabang akhirnya terpaksa menentukan format tersendiri dan harus diinput
secara manual. Hal tersebut tentu saja menimbulkan kesulitan bagi Wajib
Pajak karena harus mengingat nomor kode cabang secara manual, bukan
secara sistem. Disarankan agar e-SPT mengakomodir tersebut. Misalnya, WP
dapat menge-set bahwa tiga digit pertama merupakan kode cabang yang
dapat di-save sebagai referensi dalam aplikasi, kemudian empat digit
berikutnya merupakan nomor urut yang muncul secara sistem sehingga
penginputan nomor pada akhirnya tidak perlu dilakukan secara manual.
Beberapa Wajib Pajak juga mengeluhkan bahwa cetakan nama dan alamat
yang telalu panjang dalam Bukti Potong ternyata tidak muncul sebagian
karena terpotong. Oleh karena itu, DJP hendak meninjau dan mengecek
ulang aplikasi e-SPT yang ada untuk melakukan perbaikan di beberapa
bagian. Mengenai PER-14/PJ/2013 sendiri, terdapat sedikit kesalahan,
yaitu ketentuan yang menyebutkan bahwa pencantuman nama dan NPWP
pemotong dalam bukti potong adalah orang yang menandatangani bukti
potong tersebut, padahal seharusnya adalah nama dan NPWP perusahaan.
Oleh karena itu DJP berencana akan dilakukan pembahasan lebih lanjut
serta melakukan revisi PER-14/PJ/2013. Wajib Pajak juga memberikan saran
untuk aplikasi e-SPT bahwa aplikasi seharusnya mengakomodir menu
peng-crosscheck-an nama yang berhak menandatangani SPT agar SPT tidak
disalahgunakan.
Pada akhirnya, e-SPT ini termasuk program baru sehingga masih
terdapat beberapa kekurangan baik pada aplikasi maupun pada regulasinya.
Dibalik semua kelebihan dan kekurangannya, kita patut mengapresiasi
langkah dan niatan mulia Direktorat Jenderal Pajak tersebut dalam
memperbaiki sistem administrasi perpajakan Indonesia. Segala sikap
skeptis harus dihilangkan Bagaimanapun juga e-SPT Masa PPh Pasal 21 ini
merupakan langkah awal pengembangan SPT menuju e-Bukti Potong dan e-SPT
Tahunan PPh Badan pada tahun 2017. DJP tidak akan berhenti untuk
melakukan terobosan demi mewujudkan era teknologi informasi perpajakan
Indonesia yang efektif dan efisien. Ya, seolah menukil kata Avinas
Narula, bahwa
“If you continue what you have done in the past, you will get what you have received in the past”.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja.
Source: http://www.pajak.go.id/content/article/gebrakan-masif-e-spt-masa-pph-pasal-21