Terdapat cukup banyak penjelasan
tentang faktor-faktor yang melatar belakangi berdirinya Muhammadiyah, kalai
penjelasan-penjelasan ini diasumsikan sebagai teori, maka Djindar Tamimi
berpendapat bahwa faktor-faktor subjektif dan objektif adalah mendorong
berdirinya Muhammadiyah. Faktor subjektif berkenaan dengan pribadi Ahmad Dahlan
sendiri. Sedangkan faktor objektif dibedakan atas dua macam, yaitu intern dan
ekstern. Teori lain yang hanya mempertimbangkan aspek realitas sosial yang
mendorong lahirnya Muhammadiyah yaitu hanya ada dua faktor, internal dan
eksternal. Faktor internal berkenaan dengan kondisi keberagaman umat Islam di
Jawa, sedangkan faktor eksternal nya adalah adanya pengaruh gerakan pembaruan
Islam di Timur Tengah dan politik Islam-Belanda terhadap kaum muslimin di
Indonesia.
Selain itu, terdapat teori lain yang
mengatakan bahwa telaah mengenai latar belakang berdirinya Muhammadiyah
berhubungan dengan masalah yang saling terkait, yaitu aspirasi Islam Ahmad
Dahlan, realitas sosio-agama di Indonesia, realitas sosio-pendidikan di
Indonesia dan realitas politik Islam-Belanda.
Dan selanjutnya adalah teori yang
mengatakan ada tiga faktor yang mendorong berdirinya Muhammadiyah, yaitu
gagasan pembaruan Islam di Timur Tengah, pertentangan internal dalam masyarakat
Jawa dan yang paling penting adalah penetrasi misi Kristen di Indonesia. Faktor
yang terakhir dianggap yang paling menentukan dilihat dari berbagai kebijakan
politik pemerintah kolonial terhadap Islam dan proteksinya terhadap Nasrani,
misalnya adalah ordonansi guru, pelanggaran-pelanggarannya terhadap kebudayaan
lokal dan pembentukan freemasonry.
Berikut pembahasan yang lebih rinci
tentang beberapa teori mengenai latar belakang lahirnya Muhammadiyah :
1. Teori yang
dikemukakan oleh Djindar Tamimy faktor yang mendorong berdirinya Muhammadiyah
ada dua, yaitu :
a. Faktor
Subjektif
Bersifat subyek, ialah pelakunya
sendiri. Dan ini merupakan faktor sentral, sedangkan faktor yang lain hanya
menjadi penunjang saja. Yang dimaksudkan disini ialah, kalau mau mendirikan
Muhammadiyah maka harus dimulai dari orangnya sendiri. Kalau tidak, maka
Muhammadiyah bisa dibawa kemana saja.
Lahirnya Muhammadiyah tidak dapat
dipisahkan dengan Kyai Haji Ahmad Dahlan, tokoh kontroversial pada zamannya. Ia
dilahirkan pada tahun 1868 dan wafat tahun 1923 M, dimakamkan dipemakaman
Karangkajen, Yogyakarta. Hayat yang dikecap selama 55 tahun berarti meninggal
dalam usia relative muda. Sudah sejak kanak-kanak beliau diberikan pelajaran
dan pendidikan agama oleh orang tuanya, oleh para guru (ulama) yang ada dalam
masyarakat lingkungannya. Ini menunjukkan rasa keagamaan KH Ahmad Dahlan tidak
hanya berdasarkan naluri, melainkan juga melalui ilmu-ilmu yang diajarkan
kepadanya.
Dikala mudanya, beliau terkenal
memiliki pemikiran yang cerdas dan bebas serta memiliki akal budi yang bersih
dan baik. Pendidikan agama yang diterimanya dipilih secara selektif. Tidak
hanya itu, tetapi sesudah dipikirkan, dibawa dalam perenungan-perenungan dan
ingin dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Disinilah yang menentukan Ahmad
Dahlan sebagai subjek yang nantinya mendorong berdirinya Muhammadiyah.
Namun faham dan keyakinan agamanya
barulah menemukan wujud dan bentuknya yang mantap sesudah menunaikan ibadah
hajinya yang kedua (1902 M) dan sempat bermukim beberapa tahun di tanah suci.
Waktu itu beliau sudah mampu dan berkesempatan membaca atau mengkaji
kitab-kitab yang disusun oleh alim ulama yang mempunyai aliran hendak kembali
kepada Al-Quran dan As-Sunah dengan menggunakan akal yang cerdas dan bebas.
Faham dan keyakinan agama yang dilengkapi dengan penghayatan dan pengalaman
agamanya inilah yang mendorong kelahiran Muhammadiyah.
b. Faktor
Objektif
Faktor objektif yang dimaksud ialah
keadaan dan kenyataan yang berkembang saat itu. Hal ini merupakan pendorong
lebih lanjut dan permulaan yang telah ditetapkan hendak dilakukan subjek.
Faktor ini dibagi menjadi dua, yaitu intern ummat Islam dan ekstern ummat
Islam.
Faktor objektif intern ummat Islam
ialah kenyataan bahwa ajaran agama Islam yang masuk di Indonesia ternyata
sebagai akibat perkembangan Agama Islam pada umumnya sudah tdak utuh dan tidak
murni lagi. Kalau ajaran sudah tidak murnni, tidak diambil dari sumbernya yang
asli, sudah dicampur dengan ajaran-ajaran yang lain (sinkretisme), kemudian
yang dikaji bukan Islam seutuhnya melainkan hanya bagian-bagian yang dianggap
sesuai dengan kebudayaan setempat, maka ketika Islam yang seperti itu difahami
dan dilaksanakan, sudah tidak bisa lagi memberikan manfaat yang dijanjikan oleh
Islam terhadap pemeluknya.
Faktor objektif yang seperti itu
lebih mendorong Ahmad Dahlan segera mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah untuk
dijadikan sarana memperbaiki Agama dan ummat Islam Indonesia.
Selanjutnya adalah faktor objektif
ekstern ummat Islam. Pemerintah Hindia-Belanda merupakan keadaan objektif
ektern ummat Islam pertama yang melatar belakangi berdirinya Muhammadiyah.
Pemerintah Hindia-Belanda memegang kekuasaan yang menentukan segala-galanya.
Agama Pemerintah Belanda yang resmi ialah Protestan yang dengan sendirinya
tidak menghendaki Agama Islam.
Pemerintah Belanda mempunyai
pendirian untuk menjaga kelangsungan kekuasaan dittanah jajahan, terutama tanah
jajahan yang penduduknya mayoritas Islam. Demi kelangsungan kekuasaanya di
Indonesia, pemerintah penjajah Hindia-Belanda berpendirian bahwa ajaran Agama
Islam yang utuh dan murni tidak boleh hidup dan berkembang ditanah jajahan. Maka
ajaran Agama Islam (yang tidak utuh dan murni lagi itulah yang dikehendaki.
Ajarann Islam yang seperti itu untuk hidup terus dan berkembang lebih lanjut.
Faktor objektif diluar ummat Islam
lainnya ialah dari angkatan muda yang sudah mendapat pendidikan Barat yang
mengadakan gerakan-gerakan yang untuk memusuhi apa yang dimaksud gerakan
Muhammadiyah. Itu semua yang mendorong KH Ahmad Dahlan memperjuangkan faham dan
keyakinan agamanya dengan mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah.
2. Teori yang
hanya mempertimbangkan aspek realitas sosial
a. Faktor
Internal
Yang dimaksud faktor internal adalah
faktor yang berkaitan dengan kondisi keagamaan kaum muslimin Indonesia sendiri
yang telah menyimpang dari ajaran Islam yang benar. Sebelum Islam datang,
terlebih dahulu Indonesia sudah bercokol Agama Hindu dan Budha yang cukup
berpengaruh dalam mewarnai kerohanian penduduk Indonesia. Kehidupan keagamaan
yang tampak ketika itu adalah sinkretisme, yaitu campuran antara kepercayaan
tradisional yang telah menjelma menjadi adat kebiasaan yang bersifat agamis
dengan bentuk mistik yang dijiwai oleh Agama Hindu dan Budha.
Kemudian Islam datang pada abad 7
atau 8 Masehi, maka sinkretisme itu bertambah dengan unsur Islam. Inilah faktor
internal yang melatar belakangi berdirinya Muhammadiyah.
b. Faktor
Eksternal
1. Politik
Islam Belanda Terhadap Kaum Muslimin di Indonesia
Politik Islam Belanda yang
didasarkan pada konsep Snouck Hurgronje sangat bermusuhan pada Islam dan ummat
Islam Indonesia. Adapun realisasi politik Islam Belanda antara lain dalam
bentuk pembatasan-pembatasan kepada setiap aktivitas kaum muslimin, seperti
dilarang mendirikan organisasi politik, disensornya semua penerbitan yang
datang dari luar dan dibatasinya jamaah haji Indonesia.
2. Pengaruh Ide
dan Gerakan Pembaruan Islam di Timur Tengah
Pengaruh Makkah masuk ke Indonesia
melalui orang-orang Indonesia yang menunaikan ibadah haji. Sewaktu di Makkah,
mereka mempelajari Islam dengan memperdalam beberapa aspek ajaran Islam,
terutama fikih. Khusus tentang hajinya Ahmad Dahlan ke tanah suci dan tinggal
disana untuk studi Islam beberapa tahun, menjadikan beliau makin terbiasa
dengan ide pembaruan. Pengamatan langsung terhadap daerah pusat Islam yang
banyak terpengaruh oleh ide pembaruan ini, akhirnya mendorong KH Ahmad Dahlan
untuk mendirikan gerakan pembaruan Islam Indonesia, yaitu Muhammadiyah.
3. Teori yang
mengatakan berdirinya Muhammadiyah berhubungan erat dengan tiga masalah pokok,
yaitu :
a. Pemikiran
Islam Ahmad Dahlan
Aksi sosial Ahmad Dahlan bukan
semata gerakan keagamaan dalam arti ritual, melainkan bisa disebut sebagai
“revolusi kebudayaan”. Berbagai gagasan dan aksi sosial Ahmad Dahlan tidak
hanya mencerminkan nalar kritisnya, melainkan juga menunjukkan kepedulian pada
nasib rakyat yang kebanyakan menderita, tidak berpendidikan dan miskin.
Aktualisasi Islam tidak hanya secara
pribadi, manusia diwajibkan menegakkan Islam ditengah-tengah masyarakat. Ahmad
Dahlan tidak menginginkan masyarakat Islam yang seperti dahulu, ataupun
masyarakat baru yang membentuk Islam baru. Jalan yang ditempuh Ahmad Dahlan
adalah dengan menggembirakan ummat Islam Indonesia untuk beramal dan berbakti
sesuai dengan ajaran Islam. Bidang pendidikan misalnya, Ahmad Dahlan mengadopsi
sistem pendidikan Belanda karena dianggap efektif. Bahkan membuka peluang bagi
wanita Islam untuk sekolah, padahal di Arab, India dan Pakistan ini menjadi
masalah. Sedangkan dibidang sosial Ahmad Dahlan mendirikan panti asuhan untuk
memelihara anak yatim dan anak-anak terlantar lainnya. Yang kemudian banyak
berkembang Yayasan-Yayasan Yatim Piatu Muhammadiyah, Rumah Sakit PKU
Muhammadiyah dan terbesar adalah lembaga pendidikan Muhammadiyah, baik TK, SD,
SMP, SMU dan Perguruan Tinggi Muhammadiyah yang jumlahnya terbesar di
Indonesia.
b. Realitas
Sosial Agama di Indonesia
Kondisi masyarakat yang masih sangat
kental dengan budaya Hindu dan Budha, memunculkan kepercayaan dan praktik
ibadah yang menyimpang dari Islam. Kepercayaan dan praktik ibadah tersebut
dikenal dengan istilah bid’ah dan khufarat. Khufarat
adalah kepercayaan tanpa pedoman yang sah menurut Al-Quran dan Al-Hadits, hanya
ikut-ikutan orang tua atau nenek moyang mereka. Sedangkan bid’ah adalah
bentuk ibadah yang dilakukan tanpa dasar pedoman yang jelas, melainkan hanya
ikut-ikutan orang tua atau nenek moyang saja.
Melihat realitas sosio-agama ini
mendorong Ahmad Dahlan untuk mendirikan Muhammadiyah. Namun, gerakan
pemurniannya dalam arti pemurnian ajaran Islam dari bid’ah dan khufarat baru
dilakukan pada tahun 1916. Dalam konteks sosio-agama ini, Muhammadiyah
merupakan gerakan pemurnian yang menginginkan pembersihan Islam dari semua
sinkretisme dan praktik ibadah yang terlebih tanpa dasar akaran Islam
(takhayul, bid’ah, khufarat).
c. Realitas
Sosio-Pendidikan di Indonesia
Ahmad Dahlan mengetahui bahwa
pendidikan di Indonesia terpecah menjadi dua, yaitu pendidikan pesantren yang
hanya mengajarkan ajaran-ajaran agama dan pendidikan Barat yang sekuler.
Kondisi ini menjadi jurang pemisah antara golongan yang mendapat pendidikan
agama dengan golongan yang mendapatkan pendidikan sekuler. Kesenjangan ini
termanifestasi dalam bentuk berbusana, berbicara, pola hidup dan berpikir.
Ahmad Dahlan mengkaji secara mendalam dua sistem pendidikan yang sangat kontras
ini.
Dualisme sistem pendidikan diatas
membuat prihatin Ahmad Dahlan, oleh karena itu cita-cita pendidikan Ahmad
Dahlan ialah melahirkan manusia yang berpandangan luas dan memiliki pengetahuan
umum, sekaligus yang bersedia untuk kemajuan masyarakatnya. Cita-cita ini
dilakukan dengan mendirikan lembaga pendidikan dengan kurikulum yang
menggabungkan antara Imtak dan Iptek.
No comments:
Post a Comment