Biografi Rasyid Ridha
Rasyid Ridha adalah murid Muhammad ‘Abduh yang
terdekat. Ia lahir pada tahun 1865 di al-Qalamun, suatu desa di Lebanon yang letaknya
tidak jauh dari kota Tripoli (Suria). Menurut keterangan, ia berasal dari
keturunan al-Husain, cucu Rasulullah. Semasa kecil, ia belajar di sebuah
sekolah tradisional di al-Qalamun untuk belajar menulis, berhitung dan membaca
al-Qur’an. Pada tahun 1882, ia meneruskan pelajaran di al-Madrasah al-Wataniah
al-Islamiyyah (Sekolah Nasional Islam) di Tripoli. Sekolah ini didirikan oleh
al-Syaikh Husain al-Jisr, seorang ulama Islam yang telah dipengaruhi oleh
ide-ide modern. Di Madrasah ini, selain dari bahasa Arab diajarkan pula bahasa
turki dan Perancis, dan di samping pengetahuan-pengetahuan agama juga diajarkan
pengetahuan modern.[1]
Rasyid Ridha meneruskan pelajarannya di salah satu
sekolah agama yang ada di Tripoli. Namun hubungan dengan al-Syaikh Hussein
al-Jisr berjalan terus dan guru inilah yang menjadi pembimbing baginya di masa
muda. Selanjutnya ia banyak dipengaruhi oleh ide-ide Jamaluddin al-Afghani dan
Muhammad ‘Abduh melalui majalah al-Urwah al-Wutsqa. Ia berniat untuk
menggabungkan diri dengan al-Afghani di Istambul, tetapi niat itu tidak
terwujud. Sewaktu Muhammad ‘Abduh berada dalam pembuangan di Beirut, ia
mendapat kesempatan baik untuk berjumpa dan berdialog dengan murid utama
al-Afghani itu. Pemikiran-pemikiran pembaruan yang diperolehnya dari al-Syaikh
Hussain al-Jisr dan yang kemudian diperluas lagi dengan ide-ide al-Afghani dan
Muhammad ‘Abduh amat mempengaruhi jiwanya.
Beberapa bulan kemudian ia mulai menerbitkan majalah
yang termasyhur, al-Manar. Di dalam nomor pertama dijelaskan bahwa
tujuan al-Manar sama dengan tujuan al-Urwah al-Wutsqa, antara
lain, mengadakan pembaruan dalam bidang agama, sosial dan ekonomi, memberantas
takhayyul dan bid’ah-bid’ah yang masuk ke dalam tubuh Islam, menghilangkan
faham fatalisme yang terdapat dalam kalangan umat Islam, serta faham-faham
salah yang dibawa tarekat-tarekat tasawwuf, meningkatkan mutu pendidikan dan
membela umat Islam terhadap permainan politik negara-negara Barat.
Rasyid Ridha melihat perlunya diadakan tafsir modern
dari al-Qur’an, yaitu tafsir yang sesuai dengan ide-ide yang dicetuskan
gurunya. Ia selalu menganjurkan kepada gurunya, Muhammad ‘Abduh, supaya menulis
tafsir modern. Karena selalu didesak, ‘Abduh akhirnya setuju untuk memberikan
kuliah mengenai tafsir al-Qur’an di al-Azhar. Kuliah-kuliah itu dimulai pada
tahun 1899. Keterangan-keterangan yang diberikan gurunya oleh Rasyid Ridha
dicatat untuk selanjutnya disusun dalam bentuk karangan teratur. Apa yang ia
tulis ia serahkan selanjutnya kepada guru untuk diperiksa. Setelah mendapat
persetujuan lalu disiarkan dalam al-Manar. Dengan demikian, akhirnya
muncullah apa yang kemudian dikenal dengan Tafsir al-Manar. Muhammad
‘Abduh sempat memberikan tafsir hanya sampai pada ayat 125 dari surat An-Nisa
(Jilid III dari Tafsir al-Manar) dan yang selanjutnya adalah
tafsiran muridnya sendiri.
Di dalam majalah al-Manar pun, Rasyid Ridha
menulis dan memuat karya-karya yang menentang pemerintahan absolut kerajaan
Utsmani. Selain itu, tulisan-tulisan yang menentang politik Inggris dan
Perancis untuk membelah-belah dunia Arab di bawah kekuasaan mereka.
Di masa tua Rasyid Ridha, meskipun kesehatannya telah
terganggu, ia tidak mau tinggal diam dan senantiasa aktif. Akhirnya ia
meninggal dunia di bulan Agustus tahun 1935, sekembalinya dari mengantarkan
Pangeran Su’ud ke kapal di Suez.
B. Ide-ide Pembaruan Rasyid Ridha
1. Bid’ah dan Faham Fatalisme:
Penyebab Kemunduran Umat Islam
Hampir tidak jauh berbeda pemikiran Rasyid Ridha
mengenai pembaruannya dengan para gurunya, yaitu Muhammad ‘Abduh dan Jamaluddin
al-Afghani. Ia juga berpendapat bahwa umat Islam mundur karena tidak menganut
ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Pemahaman umat Islam tentang ajaran-ajaran
agama mengalami kesalahan dan perbuatan-perbuatan mereka dianggap telah
menyeleweng dari ajaran Islam yang hakiki. Ke dalam tubuh Islam telah banyak
masuk bid’ah yang merugikan bagi perkembangan dan kemajuan umat.
Menurut Rasyid Ridha, di antara bid’ah-bid’ah itu
ialah pendapat bahwa dalam Islam terdapat ajaran kekuatan batin yang membuat
pemiliknya dapat memperoleh segala apa yang dikehendakinya. Bid’ah lain yang
ditentang keras oleh Rasyid Ridha ialah ajaran syekh-syekh tarekat tentang
tidak pentignya hidup duniawi, tentang tawakkal, dan tentang pujaan dan
kepatuhan berlebih-lebihan pada syekh dan wali.
Umat, demikian menurut Rasyid Ridha, harus dibawa
kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya, murni dari segala bid’ah. Islam
murni itu sederhana sekali, sederhana dalam ibadat dan sederhana dalam
muamalatnya. Yang meruwetkan ajaran Islam, adalah justeru sunah-sunah yang
ditambahkan hingga mengkaburkan antara wajib dan sunnah. Dalam soal muamalah,
hanya dasar-dasar yang diberikan, seperti keadilan, persamaan, pemerintahan syura.
Perincian dan pelaksanaan dari dasar-dasar ini diserahkan kepada umat untuk
menentukannya. Hukum-hukum fiqh mengenai hidup kemasyarakatan, tidak boleh
dianggap absolut dan tak dapat diubah. Hukum-hukum itu timbul sesuai dengan
suasana tempat dan zamannya.
Terhadap sikap fanatik di zamannya ia menganjurkan
supaya toleransi bermazhab dihidupkan. Dalam hal-hal fundamental-lah yang perlu
dipertahankan, yaitu persatuan umat. Selanjutnya ia menganjurkan pembaruan
dalam bidang hukum dan penyatuan mazhab hukum.
Sebagaimana disebutkan di atas, Rasyid Ridla mengakui
terdapat faham fatalisme di kalangan umat Islam. Menurutnya, bahwa salah satu
dari sebab-sebab yang membawa kepada kemunduran umat Islam ialah faham fatalisme
(‘aqidah al-jabr) itu. Selanjutnya salah satu sebab yang membawa
masyarakat Eropa kepada kemajuan ialah faham dinamis yang terdapat di kalangan
mereka. Islam sebenarnya mengandung ajaran dinamis. Orang Islam disuruh
bersikap aktif. Dinamis dan sikap aktif itu terkandung dalam kata jihad;
jihad dalam arti berusaha keras, dan sedia memberi pengorbanan, harta
bahkan juga jiwa. Faham jihad inilah yang menyebabkan umat Islam di
zaman klasik dapat menguasai dunia.
2. Pembaruan Rasyid Ridha dalam
Masalah Ijtihad
Sebagaimana Muhammad ‘Abduh, Rasyid Ridla sangat
menghargai akal manusia, walaupun penghargaannya terhadap akal tidak setinggi
penghargaan yang diberikan gurunya. Akal dapat dipakai dalam menafsirkan
ajaran-ajaran mengenai hidup kemasyarakatan, tetapi tidak terhadap ibadah.
Ijtihad dalam soal ibadah tidak lagi diperlukan. Ijtihad (fungsi eksplorasi
akal) dapat dipergunakan terhadap ayat dan hadis yang tidak mengandung arti
tegas dan terhadap persoalan-persoalan yang tidak disebutkan secara langsung dalam
al-Qur’an dan hadits. Di sinilah, menurut Rasyid Ridla, terletak dinamika
Islam.
Lebih jauh, mengenai ijtihad, Rasyid Ridla berkata:
“Tidak ada ishlah
(pembaruan) kecuali dengan dakwah; tidak ada dakwah kecuali dengan hujjah
(argumentasi yang dapat diterima secara rasional); dan tidak ada hujjah dalam
hal mengikut secara buta (taqlid). Yang mesti ada adalah tertutupnya pintu
taqlid buta, dan terbukanya pintu bagi faham rasional yang argumentatif adalah
awal dari setiap upaya ishlah. Taqlid merupakan hijab yang sangat tebal
yang tidak disertai ilmu dan pemahaman.”[2]
Mengenai ilmu pengetahuan, menurut Rasyid Ridla,
peradaban Barat modern didasarkan atas kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ilmu pengetahuan dan teknologi tidak bertentangan dengan Islam. Untuk kemajuan,
umat Islam harus mau menerima peradaban Barat yang ada. Barat maju, demikian
menurut Rasyid Ridla, karena mereka mau mengambil ilmu pengetahuan yang
dikembangkan umat Islam zaman klasik. Dengan demikian mengambil ilmu
pengetahuan barat modern sebenarnya berarti mengambil kembali ilmu pengetahuan
yang pernah dimiliki umat Islam.
3. Pan-Islamisme
Sebagaimana al-Afghani, Rasyid Ridla juga melihat
perlunya dihidupkan kesatuan umat Islam. Menurutnya, salah satu sebab lain bagi
kemunduran umat ialah perpecahan yang terjadi di kalangan mereka. Kesatuan yang
dimaksud oleh beliau bukanlah kesatuan yang didasarkan atas kesatuan bahasa
atau kesatuan bangsa, tetapi kesatuan atas dasar keyakinan yang sama. Oleh
karena itu ia tidak setuju dengan gerakan nasionalisme yang dipelopori Mustafa
Kamil di Mesir dan gerakan nasionalisme Turki yang dipelopori Turki Muda. Ia
menganggap bahwa faham nasionalisme bertentangan dengan ajaran persaudaraan
seluruh umat Islam. Persaudaraan dalam islam tidak kenal pada perbedaan bangsa
dan bahasa, bahkan tidak kenal perbedaan tanah air.
Rasyid Ridla tidak memberikan format yang jelas bagi
bentuk kesatuan yang dimaksud. Ia hanya menawarkan kekhalifahan yang sekaligus
mengemban fungsi sebagai kepala negara. Khalifah, menurutnya, karena mempunyai
kekuasaan legislatif maka harus mempunyai sifat mujtahid. Tetapi, khalifah
tidak boleh bersifat absolut. Ulama merupakan pembantu-pembantunya yang uatama
dalam soal memerintah rakyat.
Untuk mewujudkan kesatuan umat itu, ia pada mulanya
meletakkan harapan pada kerajaan Utsmani, tetapi harapan itu hilang setelah
Mustafa Kamal berkuasa di Istambul dan kemudian menghapuskan sistem
pemerintahan kekhalifahan. Selanjutnya ia meletakkan harapan pada kerajaan
Saudi Arabia setelah raja Abd Al-Aziz dapat merebut kekuasaan di Semenanjung
Arabia.
4. Kesamaan dan Perbedaan Afghani,
Abduh dan Rasyid Ridha
1. Kesamaan ketiga tokoh tersebut dapat
diidentifikasi sekurang-kurangnya dalam 2 (dua) hal pokok, yaitu:
- Ketiganya sama-sama menekankan perlunya Islam ditafsirkan secara rasional dan sesuai dengan kebutuhan umat Islam pada zaman tersebut. Mereka memerangi kestatisan umat Islam akibat adanya faham fatalisme dan adanya sikap jumud di dalam tubuh umat Islam. Umat perlu dicerahkan dengan menggali kembali pemikiran rasional yang telah lama padam. Tradisi Islam, khususnya menurut Al-Afghani dan ‘Abduh, tidak hanya cukup sampai tradisi zaman Rasulullah, para shahabat dan para kaum salaf saja seperti doktrin Wahhabi, melainkan mereka percaya bahwa tradisi itu harus ditafsirkan secara rasional jika hendak dikembangkan untuk menjawab tantangan zaman yang terus berubah. Dari faham inilah, ketiganya mengemukakan bahwa pintu ijtihad harus dibuka kembali. Taqlid buta adalah penghambat kemajuan, dan ijtihad adalah pintu menuju kegemilangan umat Islam seperti yang telah pernah dicapai oleh umat Islam pada zaman klasik.
- Sama-sama menekankan perlunya pembaharuan pemikiran di dunia Islam terhadap ajaran Islam itu sendiri untuk mengejar ketertinggalan dari dunia Barat, dengan cara mengambil yang baik-baik dari pemikiran Eropa tersebut, misalnya metode berpikir rasional yang membawa umat ke dalam kehidupan yang dinamis dan dalam mengembangkan institusi-institusi modern. Untuk kemajuan, umat Islam harus mau menerima peradaban Barat yang positif. Barat maju karena mereka mau mengambil ilmu pengetahuan yang dikembangkan umat Islam zaman klasik. Dengan demikian mengambil ilmu pengetahuan barat modern sebenarnya berarti mengambil kembali ilmu pengetahuan yang pernah dimiliki umat Islam.
2. Adapun perbedaan di antara
ketiganya, bisa diidentifikasikan ke dalam beberapa poin berikut ini:
- Antara Al-Afghani dan ‘Abduh terdapat perbedaan dalam pendekatan yang digunakan. Dalam melakukan pembaruan, gerakan ‘Abduh lebih bersifat evolusi--mengadakan gerakan secara bertahap (gradual). Sementara gurunya, Al-Afghani, cenderung revolusioner. Dalam melakukan islah (pembaruan) al-Afghani menekankan perlunya perlawanan terhadap otoritarianisme dan kolonialisme lewat provokasi. Sementara ‘Abduh menekankan perlunya pendidikan dan latihan bagi masyarakat yang menurutnya lebih penting daripada sosialisasi gerakan politik. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa: “Al-Afghani adalah aktivis yang intellektual, sedangkan ‘Abduh adalah intellektual yang aktivis.”
- Adapun perbedaan antara ‘Abduh dan Rasyid Ridla, sebagaimana dikemukakan oleh Harun Nasution (1992), adalah bahwa Muhammad ‘Abduh lebih liberal dari muridnya. ‘Abduh tidak mau terikat pada salah satu aliran atau mazhab yang ada dalam Islam, karena ingin bebas dalam pemikiran. Sebaliknya, Rasyid Ridla masih memegang kuat mazhab dan masih terikat secara kuat pula pada pendapat-pendapat Ibn Hambal dan Ibn Taimiyyah. Karenanya, dalam beberapa pemikiran beliau, terdapat persamaan dengan faham wahhabiyyah. Dalam menafsirkan ayat tajassum, misalnya, Muhammad ‘Abduh menafsirkannya sebagai kiasan, sementara Ridla menafsirkannya secara dzahiri sebagaimana juga ketika menafsirkan QS. Al-Baqarah: 25--di dalam tafsir Al-Manar--tentang balasan di akherat. ‘Abduh menekankan tafsiran filosofis. Tafsiran itu mengandung arti bahwa balasan yang akan diterima di kaherat adalah bersifat rohani. Sedangkan rasyid Ridla dalam komentarnya lebih menekankan balasan dalam bentuk jasmani dan bukan dalam bentuk rohani.
Namun, yang perlu dicatat, kita mesti berpikir bahwa
perbedaan di antara ketiganya justeru saling melengkapi. ‘Abduh mencetuskan
gagasan yang tidak dilontarkan oleh Al-Afghani dan, begitu juga Rasyid Ridla
mencetuskan gagasan yang tidak dilontarkan oleh ‘Abduh.**[harja saputra, 2001].
Soyrce: http://www.harjasaputra.com/riset/biografi-dan-ide-ide-pembaharuan-rasyid-ridha/itemid-832.html
No comments:
Post a Comment